Saturday 29 March 2014

Waktu Terasa Makin Singkat



Seminggu ini terasa waktu berputar sangatlah cepat. Tak seperti hari-hari sebelumnya, itulah yang aku alami beserta teman-teman. Sangat sedikit sekali waktu luang yang ada bahkan bisa dibilang tidak ada waktu luang. Bukan lebay, namun ini kenyataan. Dan inilah yang kami alami. 

Mungkin bagi mahasiswa jurusan lain ini tidak pernah terjadi dan banyak diantara mereka yang tidak percaya. Namun bagi kami mahasiswa teknik, terkhusus buat jurusan Teknik Sipil yang kelak akan menyandang gelar Sarjana Teknik hal ini sudah lumrah, alias sudah biasa. Memang apaan sih??

Sebenarnya seminggu terakhir ini aku beserta teman-teman sedang mengikuti praktikum. Dan tidak hanya itu sore harinya kami sempetin masuk kuliah, itu pun kalo sempat. Sialnya selama seminggu ini aku dan teman-teman tak masuk kuliah karena praktikum, seminggu ini pula kami dapat tugas yang seambrek banyaknya. Belum lagi nyelesaiin laporan praktikum yang sangat tebal. Dan perlu diingat, laporan itu harus ditulis tangan broo.

Dengan begitu banyak tugas-tugas kami, dalam seminggu ini pun kami mendadak seperti kelelawar alias begadang sampe pagi. Bisa dibayangin deh gimana capek plus puyeng plus ngantuknya ngerjain semua itu. Mulai dari pagi sampai sore di kampus, terus pulang ngerjain tugas sampai malam dan hingga pagi lagi. Begitulah seterusnya yang aku alami dalam seminggu terakhir ini. Dan bisa dipastikan hal yang sama juga akan terjadi seminggu kedepan. Mendingan gak usah dibayangin deh, aku aja ogah ngebayangin.

Namun terlepas dari semua itu terdapat banyak pelajaran yang dapat kita ambil. Diantaranya kita harus menghargai waktu, tidak boleh meyianyiakan sedikitpun waktu yang ada. Serta dengan banyaknya tugas ini kami pun bisa berkumpul bersama teman-teman, berdiskusi bersama, memecahkan persoalan bersama-sama. Dan yang paling seru kami biasa ngerjain tugas rame-rame dan berkumpul di rumah salah seorang teman kami. Yang pastinya seruu!!!

Friday 14 March 2014

Jawa Di Bumi Melayu Riau



              Tak ada habis rasanya untuk menulis tentang sebuah desa yang saat ini bisa dikatakan makmur dan jaya. Yahh, jaya seperti namanya yakni Desa Kepenuhan Jaya. Tidak bisa dipungkiri, jika desa ini memiliki banyak sumber daya dan keunikan-keunikan tersendiri. Hal ini bisa dilihat dari keseharian warganya yang mungkin tidak ada yang menganggur. Jadi tidak aneh rasanya jika para penduduk desa ini memiliki barang-barang mewah yang mestinya dimiliki oleh orang-orang kota.

          Namun kali ini saya akan menuliskan tentang keunikan yang ada di Desa Kepenuhan Jaya ini. Sekilas jika ada orang yang belum pernah datang ke desa ini, mungkin mereka mengira sedang berada di Pulau Jawa. Padahal Desa Kepenuhan Jaya ini berada di Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Mengapa Demikian??
          Di tulisan saya sebelumnya telah saya ulas jika penduduk Desa Kepenuhan Jaya ini merupakan para transmigran yang di datangkan dari Jawa pada awal tahun 1980-an. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika adat istiadat dan budaya di Desa Kepenuhan Jaya ini sama persis dengan adat istiadat dan budaya di tanah Jawa. Para penduduk desa ini masih memakai adat istiadat dan budaya Jawa dengan sangat kental.
          Hal ini terlihat pada saat prosesi pernikahan yang dilakukan oleh para penduduk di desa ini. Mereka masih menggunakan adat istiadat Jawa, seperti budaya pecah telur dan lain sebagainya. Dan biasanya budaya gotong royong antar warga yang memiliki hajat masih kental di desa ini. Kemudian bisa dilihat juga pada acara-acara kenduri seperti pitonan, sepasaran, tingkeban dan lain sebagainya pun masih dilakukan para penduduk hingga saat ini.
          Pada intinya, meskipun mereka telah banyak bergaul dengan penduduk lokal, namun para penduduk di Desa Kepenuhan Jaya tidak meninggalkan adat istiadat dan budaya yang mereka bawa dari tanah jawa tersebut. Begitu juga dengan ratusan daerah lain yang terbentuk dari para transmigran yang datang dari tanah Jawa lainnya. Mereka masih menjaga adat istiadat serta budaya tersebut dan terus melestarikannya.

Thursday 27 February 2014

Sepenggal Cerita Pendatang Desa Kepenuhan Jaya



Jika sebelumnya saya telah mengulas tentang kota di atas belantara, saat ini saya akan menulis sebuah perkampungan yang lahir karena adanya para transmigran yang datang pada awal tahun 1980-an. Daerah itu bernama Desa Kepenuhan Jaya, dan ini merupakan tanah kelahiran penulis sendiri. Meski saya baru lahir 10 tahun setelah para transmigran datang, namun sedikit banyaknya saya mengetahui tentang kisah-kisah mengharukan para transmigran saat baru menginjakkan kaki di tanah yang baru ini. Tentunya dari penuturan orang tua saya dan para penduduk di Desa Kepenuhan Jaya.
Bisa dikatakan saya merupakan generasi kedua di tanah transmigran ini, karena saya bukan orang yang langsung datang dari tanah jawa. Melainkan
lahir di desa baru hasil program transmigran ini. Desa yang lahir pada tahun 1983 ini, kini tak tampak seperti daerah bekas transmigran, namun boleh dikatakan jauh lebih makmur dari desa-desa pada umumnya. Desa Kepenuhan Jaya sendri berada di Kecamatan Kepenuhan Hulu Kabupaten Rokan Hulu.
Mungkin sekilas terdengar aneh dan seakan tak mungkin ada desa ataupun daerah di atas hutan belantara, namun itulah kenyataannya. Banyak desa-desa yang dahulu adalah sebuah hutan belantara yang lebat dan belum pernah terjamah. Namun saat ini telah berubah menjadi perkampungan-perkampungan dan kota yang penuh dengan keramaian. Tak butuh waktu lama untuk menjadikan hutan yang begitu lebat menjadi sebuah pemukiman yang banyak diminati oleh para pendatang. Dan seakan menjadi magnet bagi para pencari kerja. Ituah gambaran kecil Desa Kepenuhan Jaya
Para transmigran di Desa Kepenuhan Jaya ini banyak mengubah hutan-hutan belantara menjadi daerah-daerah perkebunan saat ini. Namun jauh sebelum itu banyak cerita yang sangat mengharukan menyertai kedatangan mereka ke Desa Kepenuhan Jaya. Banyak diantara mereka mungkin tidak membayangkan bagaimana hidup di daerah baru yang belum berpenghuni. Apalagi daerah ini merupakan bekas hutan belantara yang sengaja ditebang kemudian dibangun rumah-rumah baru untuk para pendatang, yakni para transmigran.
Bisa dibayangkan, di desa yang disebut Kepenuhan jaya ini saat para transmigran datang belumlah tersedia infrastruktur desa seperti yang terlihat saat ini. Belum ada sistem penerangan, belum ada air bersih apalagi sistem telkomunikasi. Jangankan semua itu, tumbuhan yang paling tinggi saat itu mungkin hanyalah pohon pisang. Kanan kiri rumah hanyalah hamparan alang-alang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan saat itu. Bahkan untuk beli alat-alat pertanian saja harus rela berjalan ke perkampungan sebelah yang jauh dan harus menyeberang sungai. Itupun harus pada hari-hari tertentu pada saat hari pasar.
Banyak diantara mereka yang mengeluh dan ingin kembali ke kampung halaman mereka di Jawa. Sebab, kehidupan di Desa Kepenuhan Jaya ini sangat berbeda jauh dengan kampung halaman mereka di Jawa sana. Mereka mengeluh karena di daerah asal tersedia listrik, air bersih, jalan sudah bagus, mau ke pasar dekat dan lain sebagainya. Intinya mereka harus banyak menyesuaikan diri dengan kondisi di Desa Kepenuhan jaya ini.
Saat itu, untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, para penduduk Desa Kepenuhan Jaya membuka hutan dan alang-alang untuk ditanami padi, kedelai, jagung, dan tanaman sayur-mayur lainnya. Perkembangan zaman membuat sejumlah penduduk mulai melirik tanaman perkebunan. Tanaman padi diganti karet dan sawit. Hasilnya, perputaran ekonomi di wilayah transmigrasi langsung melejit.
Tingkat pertumbuhan ekonomi membuat warga Desa Kepenuhan jaya menjadi bersemangat hidup di daerah baru. Mereka tidak hanya menumpang hidup di wilayah baru, tetapi juga ikut menghidupkan daerah yang semula hanyalah hutan belantara. Sejumlah penduduk bahkan mengajak sanak saudaranya di Jawa untuk datang ke Desa Kepenuhan Jaya. Nafkah yang semakin sulit di Jawa membuat sejumlah kerabat dan teman ikut merantau ke Desa Kepenuhan Jaya. Malah banyak diantara mereka yang tak ingin kembali pulang ke daerah asalnya di Jawa.
Tidak butuh waktu yang lama untuk merubah Desa Kepenuhan Jaya menjadi seperti desa-desa lokal di daerah sekitar desa ini. Malah bisa dikatakan jauh lebih maju dari pada desa yang bukan merupakan daerah transmigran. Ini terbukti dari lebih banyaknya pertumbuhan penduduk dan tersedianya berbagai infrastruktur di Desa Kepenuhan Jaya. Para penduduk yang dahulu mungkin untuk mengunjungi sanak saudara di Jawa adalah suatu yang sulit karena tidak adanya biaya, namun saat ini hal itu bukanlah sebuah penghalang.

Saturday 15 February 2014

Rokan Hulu, Kabupaten Di Atas Belantara


Mungkin sekilas terdengar aneh dan seakan tak mungkin ada kota di atas belantara, namun itulah kenyataannya. Banyak kota-kota yang dahulu adalah sebuah hutan belantara yang lebat dan belum pernah terjamah. Namun saat ini telah berubah menjadi perkampungan-perkampungan dan kota yang penuh dengan keramaian. Tak butuh waktu lama untuk menjadikan hutan yang begitu lebat menjadi sebuah pemukiman yang banyak diminati oleh para pendatang. Dan seakan menjadi magnet bagi para pencari kerja.
Itulah kenyataan dibalik program transmigrasi pada awal tahun 1980-an. Para transmigran inilah yang banyak mengubah hutan-hutan belantara menjadi pusat-pusat keramaian saat ini. Namun jauh sebelum itu banyak cerita yang sangat mengharukan menyertai kedatangan para transmigran. Misalnya saja saat para transmigran datang ke daerah Riau, tepatnya di sekitar Kota Pasir Pengaraian.
Sebatang pohon sakai yang ditumbuhi lumut itu masih berdiri tegak di tengah jalan di kota Pasir Pangaraian, ibu kota Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Warga setempat tak mengizinkan pohon tersebut ditebang. Mereka sepertinya ingin mempertahankan satu-satunya penanda sejarah bahwa ibu kota Kabupaten Rokan Hulu dulunya adalah hutan belantara.
Sebelum kedatangan para transmigran dari tanah Jawa, saat itu Pasir Pangaraian dan sekitarnya adalah hutan belantara. Hanya ada beberapa warga asli yang tinggal di pinggiran sungai. Memang saat itu penduduk asli menjadikan sungai sebagai sarana transportasi dan karena belum adanya akses jalan darat.
Setiap kali melihat pohon tua berdiameter lebih dari 50 cm yang menjadi saksi sejarah itu, seorang transmigran selalu teringat betapa sulitnya dulu menembus pepohonan untuk sampai ke lokasi transmigrasi. Jarak dari Pekanbaru menuju Pasir Pangaraian yang kini bisa ditempuh sekitar lima jam, dulu harus ditempuh selama sehari semalam.
Masih lekat pula dalam ingatan mereka, hutan yang rimbun di tengah perkampungan para transmigran tidak seramai kampungnya di Provinsi Jawa Timur. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia sebelum para transmigran ini datang. Awal datang dulu, banyak diantara mereka yang tidak kerasan karena yang ada di sekitar permukiman hanya hutan dan alang-alang. Rasanya ingin kembali saja ke kampung halaman.
Namun karena desakan kebutuhan hidup keluarga sajalah yang membuat ratusan, bahkan ribuan keluarga yang ikut program transmigrasi sejak 1980 bertahan di daerah baru. Di sejumlah daerah para transmigran dari Jawa bergabung dengan transmigran lokal yang berasal dari berbagai daerah di Provinsi Riau untuk menghidupkan daerah barunya. Akses jalan yang semula sangat minim kini telah berkembang kendati masih berupa pengerasan jalan tanah.
Demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, para transmigran membuka hutan dan alang-alang untuk ditanami padi, kedelai, jagung, dan tanaman sayur-mayur lainnya. Perkembangan zaman membuat sejumlah transmigran mulai melirik tanaman perkebunan. Tanaman padi diganti karet dan sawit. Hasilnya, perputaran ekonomi di wilayah transmigrasi langsung melejit.
Tingkat pertumbuhan ekonomi membuat warga transmigran ini menjadi bersemangat hidup di daerah baru. Mereka tidak hanya menumpang hidup di wilayah baru, tetapi juga ikut menghidupkan daerah yang semula mati. Sejumlah transmigran bahkan mengajak sanak saudaranya di Jawa untuk ikut merantau. Nafkah yang semakin sulit di Jawa membuat sejumlah kerabat dan teman para transmigran ikut merantau ke tanah baru.
Pada tahun 1999 bibit pemekaran kabupaten mulai bermunculan. Wilayah di sekitar daerah transmigran dimekarkan menjadi kabupaten baru, yakni Kabupaten Rokan Hulu. Pasir Pangaraian yang semula ibu kota kecamatan Rambah dipilih sebagai ibu kota kabupaten. Kecamatan Rambah juga dimekarkan menjadi beberapa kecamatan lain, seperti Kecamatan Rambah Samo dan Kecamatan Rambah Hilir.
Di Rokan Hulu, para transmigran memang memicu pertumbuhan ekonomi lokal, bahkan telah mendorong terbentuknya kabupaten baru. Data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, lokasi-lokasi transmigrasi yang tumbuh dan berkembang menjadi kota kecamatan dan kota kabupaten sudah sangat banyak. Tercatat ada 66 kota kabupaten yang tumbuh dan berkembang karena dorongan atau stimulasi dari permukiman transmigrasi.
Cerita tentang transmigran tidak selalu harus berupa kesedihan dan kegagalan. Banyak dari mereka yang kini tampil menjadi orang-orang penting di daerah baru. Bahkan, sejumlah kota yang kini ada di Sumatera adalah bekas lokasi transmigrasi. Ibu kota Kabupaten Rokan Hulu di Riau misalnya, hanyalah salah satu contohnya. Dan masih banyak lagi daerah di luar pulau jawa yang dahulu adalah bekas hutan belantara, kini telah menjelma menjadi kota-kota penting di daerahnya.

Monday 27 January 2014

Kenangan Berpetualang Ke Air Terjun Aek Martua


Mengenang kembali saat saya masih duduk di bangku SMA beberapa tahun yang lalu. Perjalanan melelahkan saat menuju air terjun yang sangat eksotis. Air terjun yang menyimpan sejuta pesona dan keindahan. Oleh karenanya perjalanan bersama teman-teman sekelas itu masih terkenang jelas dalam ingatan saya hingga saat ini.
Mungkin sudah menjadi suatu keharusan bagi kami untuk pergi yang namanya jalan-jalan, Minimal sekali dalam satu tahun. Bisa dikatakan hanya satu tahunlah kesempatan kami untuk bersama-sama dalam satu kelas. Karena tahun berikutnya atau saat kenaikan kelas, maka kami akan saling berpisah kelas alias pembagian kelas ulang. Oleh karena itu jalan-jalan ke air terjun Aek Martualah yang kami pilih pada saat itu.
Mengunjungi air terjun Aek Martua boleh jadi merupakan kombinasi antara wisata alam dan budaya. Apa sebabnya?? Mendengar nama Aek Martua mungkin banyak orang yang menganggap objek wisata ini berloksi di kawasan Sumatera Utara. Namun sesungguhnya air twerjun Aek Martua ini berada di Kabupaten Rokan Hulu, Riau.
Maka berkunjung ke air terjun ini boleh jadi sama dengan mengkombinasikan wisata alam plus budayanya. Karena kita dapat melihat pesona air terjun dan komunitas Suku Mandailing di sekitarnya hidup di wilayah administrasi yang lebih dikenal sebagai kawasan Melayu Rau. Tak mengherankan jika disamping menjadi tujuan wisata, sekarang air terjun Aek Martua telah pula menjadi objek penelitian sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Pekanbaru.

Air Terjun Aek Martua adalah salah satu wisata unggulan Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Namanya diambil dari Aek Martua, sebuah sungai di wilayah Dusun Huta Padang, Kecamatan Bangun Purba, Rokan Hulu. Nama Aek Martua berasal dari bahasa suku mandailing yang artinya air bertuah. Harap maklum, mayoritas penduduk desa di sekitar air terjun dan hulu sungai ini adalah Suku Mandailing. Sesuai namanya, air terjun ini dipercaya dapat membuat awet muda. Namun lebih dari itu, kawasan di sekitar air terjun ini memang memiliki pesona luar biasa.
           
Kawasan ini merupakan hulu sungai di wilayah Bukit Simalombu. Sebuah bagian dari  rangkaian dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan. Bukit Simalombu merupakan hutan alam berstatus Taman Hutan Raya dengan potensi ratusan kubik pohon kayu alam.
         
Di sini pengunjung bisa menikmati indahnya pohon-pohon hutan tinggi menjulang, meskipun menjadi incaran para pembalak liar. Tebing-tebing berbatu cadas terjal tampak gagah tegak di sisi air terjun. Dinginnya air Aek Martua yang dangkal namun bersih menambah nyaman suasana, bening laksana air minum dalam kemasan. Pengunjung pun dapat berenang di antara cadas terhampar di sepanjang sungai tanpa perlu khawatir tenggelam.
          Sebelum sampai air terjun yang tertinggi, sekitar 40 meter, para pengunjung dapat lebih dahulu menikmati indahnya air terjun lain setinggi empat dan tujuh meter. Di kedua air terjun ini, pengunjung dapat beristirahat sejenak di batu-batu cadas sambil makan-minum sebelum mencapai air terjun tertinggi.

          Ada tiga air terjun indah dan spektakuler dengan jarak beberapa puluh meter di kawasan ini, bervariasi mulai ketinggian 15 meter sampai dengan yang tertinggi 40 meter. Air terjun pertama memiliki hamparan batu cukup luas untuk bermain air. Sedangkan air terjun kedua memiliki kolam sekitar 250 m2 untuk mandi. Yang lebih spektakuler adalah air terjun ketiga, tertinggi dan tersulit medannya. Perlu diketahui bahwa diseluruh kawasan air terjun ini masih alami.
          Pada musim liburan dan hari-hari besar keagamaan seperti lebaran dan tahun baru, objek wisata Aek Martua dipenuhi ribuan pengunjung dari berbagai daerah. Bahkan sejumlah wisatawan mancanegara tampak berbaur dengan pengunjung lokal di sana.

          Sekarang, apakah anda berminat mengunjungi air terjun yang mempesona ini?  Nah, tentunya anda harus sampai dulu di Kota Pasir Pengaraian yang berjarak sekitar 187 km dari Kota Pekanbaru. Dilanjutkan perjalanan ke Kecamatan Bangun Purba. Setelah itu diteruskan dengan menyusuri jalan setapak sejauh 6,5 km dari pintu masuk kawasan wisata. Dari sinilah petualangan anda dimulai.
Selamat berpetualang, semoga perjalanan anda menyenangkan !!!