Thursday 27 February 2014

Sepenggal Cerita Pendatang Desa Kepenuhan Jaya



Jika sebelumnya saya telah mengulas tentang kota di atas belantara, saat ini saya akan menulis sebuah perkampungan yang lahir karena adanya para transmigran yang datang pada awal tahun 1980-an. Daerah itu bernama Desa Kepenuhan Jaya, dan ini merupakan tanah kelahiran penulis sendiri. Meski saya baru lahir 10 tahun setelah para transmigran datang, namun sedikit banyaknya saya mengetahui tentang kisah-kisah mengharukan para transmigran saat baru menginjakkan kaki di tanah yang baru ini. Tentunya dari penuturan orang tua saya dan para penduduk di Desa Kepenuhan Jaya.
Bisa dikatakan saya merupakan generasi kedua di tanah transmigran ini, karena saya bukan orang yang langsung datang dari tanah jawa. Melainkan
lahir di desa baru hasil program transmigran ini. Desa yang lahir pada tahun 1983 ini, kini tak tampak seperti daerah bekas transmigran, namun boleh dikatakan jauh lebih makmur dari desa-desa pada umumnya. Desa Kepenuhan Jaya sendri berada di Kecamatan Kepenuhan Hulu Kabupaten Rokan Hulu.
Mungkin sekilas terdengar aneh dan seakan tak mungkin ada desa ataupun daerah di atas hutan belantara, namun itulah kenyataannya. Banyak desa-desa yang dahulu adalah sebuah hutan belantara yang lebat dan belum pernah terjamah. Namun saat ini telah berubah menjadi perkampungan-perkampungan dan kota yang penuh dengan keramaian. Tak butuh waktu lama untuk menjadikan hutan yang begitu lebat menjadi sebuah pemukiman yang banyak diminati oleh para pendatang. Dan seakan menjadi magnet bagi para pencari kerja. Ituah gambaran kecil Desa Kepenuhan Jaya
Para transmigran di Desa Kepenuhan Jaya ini banyak mengubah hutan-hutan belantara menjadi daerah-daerah perkebunan saat ini. Namun jauh sebelum itu banyak cerita yang sangat mengharukan menyertai kedatangan mereka ke Desa Kepenuhan Jaya. Banyak diantara mereka mungkin tidak membayangkan bagaimana hidup di daerah baru yang belum berpenghuni. Apalagi daerah ini merupakan bekas hutan belantara yang sengaja ditebang kemudian dibangun rumah-rumah baru untuk para pendatang, yakni para transmigran.
Bisa dibayangkan, di desa yang disebut Kepenuhan jaya ini saat para transmigran datang belumlah tersedia infrastruktur desa seperti yang terlihat saat ini. Belum ada sistem penerangan, belum ada air bersih apalagi sistem telkomunikasi. Jangankan semua itu, tumbuhan yang paling tinggi saat itu mungkin hanyalah pohon pisang. Kanan kiri rumah hanyalah hamparan alang-alang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan saat itu. Bahkan untuk beli alat-alat pertanian saja harus rela berjalan ke perkampungan sebelah yang jauh dan harus menyeberang sungai. Itupun harus pada hari-hari tertentu pada saat hari pasar.
Banyak diantara mereka yang mengeluh dan ingin kembali ke kampung halaman mereka di Jawa. Sebab, kehidupan di Desa Kepenuhan Jaya ini sangat berbeda jauh dengan kampung halaman mereka di Jawa sana. Mereka mengeluh karena di daerah asal tersedia listrik, air bersih, jalan sudah bagus, mau ke pasar dekat dan lain sebagainya. Intinya mereka harus banyak menyesuaikan diri dengan kondisi di Desa Kepenuhan jaya ini.
Saat itu, untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, para penduduk Desa Kepenuhan Jaya membuka hutan dan alang-alang untuk ditanami padi, kedelai, jagung, dan tanaman sayur-mayur lainnya. Perkembangan zaman membuat sejumlah penduduk mulai melirik tanaman perkebunan. Tanaman padi diganti karet dan sawit. Hasilnya, perputaran ekonomi di wilayah transmigrasi langsung melejit.
Tingkat pertumbuhan ekonomi membuat warga Desa Kepenuhan jaya menjadi bersemangat hidup di daerah baru. Mereka tidak hanya menumpang hidup di wilayah baru, tetapi juga ikut menghidupkan daerah yang semula hanyalah hutan belantara. Sejumlah penduduk bahkan mengajak sanak saudaranya di Jawa untuk datang ke Desa Kepenuhan Jaya. Nafkah yang semakin sulit di Jawa membuat sejumlah kerabat dan teman ikut merantau ke Desa Kepenuhan Jaya. Malah banyak diantara mereka yang tak ingin kembali pulang ke daerah asalnya di Jawa.
Tidak butuh waktu yang lama untuk merubah Desa Kepenuhan Jaya menjadi seperti desa-desa lokal di daerah sekitar desa ini. Malah bisa dikatakan jauh lebih maju dari pada desa yang bukan merupakan daerah transmigran. Ini terbukti dari lebih banyaknya pertumbuhan penduduk dan tersedianya berbagai infrastruktur di Desa Kepenuhan Jaya. Para penduduk yang dahulu mungkin untuk mengunjungi sanak saudara di Jawa adalah suatu yang sulit karena tidak adanya biaya, namun saat ini hal itu bukanlah sebuah penghalang.

Saturday 15 February 2014

Rokan Hulu, Kabupaten Di Atas Belantara


Mungkin sekilas terdengar aneh dan seakan tak mungkin ada kota di atas belantara, namun itulah kenyataannya. Banyak kota-kota yang dahulu adalah sebuah hutan belantara yang lebat dan belum pernah terjamah. Namun saat ini telah berubah menjadi perkampungan-perkampungan dan kota yang penuh dengan keramaian. Tak butuh waktu lama untuk menjadikan hutan yang begitu lebat menjadi sebuah pemukiman yang banyak diminati oleh para pendatang. Dan seakan menjadi magnet bagi para pencari kerja.
Itulah kenyataan dibalik program transmigrasi pada awal tahun 1980-an. Para transmigran inilah yang banyak mengubah hutan-hutan belantara menjadi pusat-pusat keramaian saat ini. Namun jauh sebelum itu banyak cerita yang sangat mengharukan menyertai kedatangan para transmigran. Misalnya saja saat para transmigran datang ke daerah Riau, tepatnya di sekitar Kota Pasir Pengaraian.
Sebatang pohon sakai yang ditumbuhi lumut itu masih berdiri tegak di tengah jalan di kota Pasir Pangaraian, ibu kota Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Warga setempat tak mengizinkan pohon tersebut ditebang. Mereka sepertinya ingin mempertahankan satu-satunya penanda sejarah bahwa ibu kota Kabupaten Rokan Hulu dulunya adalah hutan belantara.
Sebelum kedatangan para transmigran dari tanah Jawa, saat itu Pasir Pangaraian dan sekitarnya adalah hutan belantara. Hanya ada beberapa warga asli yang tinggal di pinggiran sungai. Memang saat itu penduduk asli menjadikan sungai sebagai sarana transportasi dan karena belum adanya akses jalan darat.
Setiap kali melihat pohon tua berdiameter lebih dari 50 cm yang menjadi saksi sejarah itu, seorang transmigran selalu teringat betapa sulitnya dulu menembus pepohonan untuk sampai ke lokasi transmigrasi. Jarak dari Pekanbaru menuju Pasir Pangaraian yang kini bisa ditempuh sekitar lima jam, dulu harus ditempuh selama sehari semalam.
Masih lekat pula dalam ingatan mereka, hutan yang rimbun di tengah perkampungan para transmigran tidak seramai kampungnya di Provinsi Jawa Timur. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia sebelum para transmigran ini datang. Awal datang dulu, banyak diantara mereka yang tidak kerasan karena yang ada di sekitar permukiman hanya hutan dan alang-alang. Rasanya ingin kembali saja ke kampung halaman.
Namun karena desakan kebutuhan hidup keluarga sajalah yang membuat ratusan, bahkan ribuan keluarga yang ikut program transmigrasi sejak 1980 bertahan di daerah baru. Di sejumlah daerah para transmigran dari Jawa bergabung dengan transmigran lokal yang berasal dari berbagai daerah di Provinsi Riau untuk menghidupkan daerah barunya. Akses jalan yang semula sangat minim kini telah berkembang kendati masih berupa pengerasan jalan tanah.
Demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, para transmigran membuka hutan dan alang-alang untuk ditanami padi, kedelai, jagung, dan tanaman sayur-mayur lainnya. Perkembangan zaman membuat sejumlah transmigran mulai melirik tanaman perkebunan. Tanaman padi diganti karet dan sawit. Hasilnya, perputaran ekonomi di wilayah transmigrasi langsung melejit.
Tingkat pertumbuhan ekonomi membuat warga transmigran ini menjadi bersemangat hidup di daerah baru. Mereka tidak hanya menumpang hidup di wilayah baru, tetapi juga ikut menghidupkan daerah yang semula mati. Sejumlah transmigran bahkan mengajak sanak saudaranya di Jawa untuk ikut merantau. Nafkah yang semakin sulit di Jawa membuat sejumlah kerabat dan teman para transmigran ikut merantau ke tanah baru.
Pada tahun 1999 bibit pemekaran kabupaten mulai bermunculan. Wilayah di sekitar daerah transmigran dimekarkan menjadi kabupaten baru, yakni Kabupaten Rokan Hulu. Pasir Pangaraian yang semula ibu kota kecamatan Rambah dipilih sebagai ibu kota kabupaten. Kecamatan Rambah juga dimekarkan menjadi beberapa kecamatan lain, seperti Kecamatan Rambah Samo dan Kecamatan Rambah Hilir.
Di Rokan Hulu, para transmigran memang memicu pertumbuhan ekonomi lokal, bahkan telah mendorong terbentuknya kabupaten baru. Data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, lokasi-lokasi transmigrasi yang tumbuh dan berkembang menjadi kota kecamatan dan kota kabupaten sudah sangat banyak. Tercatat ada 66 kota kabupaten yang tumbuh dan berkembang karena dorongan atau stimulasi dari permukiman transmigrasi.
Cerita tentang transmigran tidak selalu harus berupa kesedihan dan kegagalan. Banyak dari mereka yang kini tampil menjadi orang-orang penting di daerah baru. Bahkan, sejumlah kota yang kini ada di Sumatera adalah bekas lokasi transmigrasi. Ibu kota Kabupaten Rokan Hulu di Riau misalnya, hanyalah salah satu contohnya. Dan masih banyak lagi daerah di luar pulau jawa yang dahulu adalah bekas hutan belantara, kini telah menjelma menjadi kota-kota penting di daerahnya.