Tuanku Tambusai |
Tuanku
Tambusai lahir di Dalu-dalu, Kabupaten Rokan Hulu, Riau pada 5 Oktober 1784
dari pasangan Ibrahim dan Munah. Ayahnya, seorang pejabat tinggi agama di
kerajaan Tambusai. Sebagai seorang pemuka agama Islam, ia mengajarkan
pendidikan agama kepada anak-anaknya dengan penuh kedisiplinan. Tuanku Tambusai
yang awalnya dikenal dengan nama Muhammad Saleh ini juga diajari beladiri,
termasuk ketangkasan menunggang kuda sejak usianya masih belia. Bukan hanya
beladiri dan menunggang kuda, tata cara bernegara pun dipelajarinya dengan
tekun.
Untuk lebih
memdalami ilmu agamanya, Muhammad Saleh pergi menuntut ilmu ke Bonjol (sekarang
Sumatera Barat) kemudian pindah lagi ke Rao. Di sana ia berguru pada beberapa
ulama dan berkenalan dengan tokoh paderi, Tuanku Imam Bonjol.
Gelar Tuanku
pun disandangnya karena tingkat keilmuannya yang tinggi dalam bidang agama.
Dengan gelar itu ia ditugasi sebagai Panglima Paderi di Rao. Tuanku Tambusai,
selain seorang panglima, ia juga merupakan salah seorang dari empat orang
paderi yang berangkat ke Mekah di tahun 1820-an untuk mempelajari perkembangan
pemikiran Islam di Tanah Suci.
Di berbagai
tempat yang sekarang termasuk dalam administratif Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera
Utara ia mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Dalam Perang Paderi
(1821-1830), Tuanku Tambusai membawa pasukan yang beroperasi di bagian utara
Sumatera Barat. Kemudian mengawali penyerangan terhadap Inggris di Natal (Sumatera
Utara) pada tahun 1823.
Pada akhir
tahun 1826, tentara Belanda tidak bisa dengan tenang masuk ke wilayah Natal
karena dihadang oleh Tuanku Tambusai. Meskipun Natal sudah diserahkan Inggris
ke tangan Belanda sesuai dengan Traktat London 1824.
Pada tahun
1830, Tuanku Tambusai bergabung dengan pasukan Rao setelah mengamankan wilayah
Natal-Airbangis. Dengan cepat ia memimpin kekuatan di Dalu-dalu (Riau),
Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, Pangkalpinang dan Natal.
Tuanku Tambusai dan Rao kemudian mendirikan benteng yang terdiri dari tujuh
lapis bambu terletak di Dalu-dalu. Namun pada September 1832, benteng itu jatuh
ke tangan Belanda. Tuanku Tambusai memboyong pasukannya ke Tapanuli Selatan.
Setelah Tuanku Rao gugur dalam pertempuran di Airbangis, praktis Tuanku
Tambusailah yang memimpin pasukan Paderi di bagian utara Sumatera Barat.
Setelah
Belanda mengangkat Tuanku Mudo (anak Tuanku Imam Bonjol) menjadi Regent
Bogor, Tuanku Tumbasai sempat memimpin paderi pada tahun 1832. Dalam rentang
waktu 15 tahun, tokoh paderi ini memporak-porandakan pasukan Belanda sehingga
musuh berkali-kali harus meminta bantuan dari Padang dan Batavia. Pada tahun
1834, ia mulai mendirikan serangkaian benteng di Dalu-dalu, (Kabupaten Rokan
Hulu saat ini).
Pada tahun
1835, pasukannya mengepung kedudukan Belanda di Rao dan Lubuk Sikaping sehingga
pasukan Belanda antara satu tempat dan tempat lain terputus. Adakalanya ia
menyerang pos-pos militer Belanda di Tapanuli Selatan sehingga kekuatan Belanda
yang mengepung Bonjol menjadi terpecah. Namun, pada Agustus 1837, Bonjol jatuh
ke tangan Belanda.
Ia juga
terkenal dengan kecerdikannya, hal itu terbukti dengan dihancurkannya benteng
Belanda Fort Amerongen. Meskipun tak berlangsung lama, Bonjol yang telah jatuh
ke tangan Belanda dapat direbut kembali. Karena keberaniannya itu, ia dijuluki
sebagai de padrische van Rokan yang berarti Harimau Paderi dari Rokan oleh
Belanda.
Gerbang Menuju Benteng Tujuh Lapis |
Pada awal
tahun 1838, pasukan Belanda menyerang Dalu-dalu dari dua arah, yakni Pasir
Pengaraian dan dari Tapanuli Selatan. Serangan itu gagal karena Tuanku Tambusai
sudah mendirikan benteng berlapis-lapis. Serangan berikutnya dilancarkan
Belanda pada Mei 1838. Beberapa benteng dapat mereka rebut, namun Belanda
memerlukan waktu beberapa bulan lagi sebelum perlawanan Tuanku Tambusai dapat
mereka akhiri. Pada 28 Desember 1838, benteng pertahanan terakhir yang saat ini
dikenal dengan Benteng tujuh Lapis di Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Namun
ia berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda dan para sekutu-sekutunya
lewat pintu rahasia menuju Sungai dan menuju hilir Sungai Rokan.
Di usianya
yang telah cukup renta, 98 tahun, ia kemudian mengungsi ke Seremban, Malaysia.
Ia meninggal dunia pada 12 November 1882 di Negeri Sembilan, Malaysia. Atas
jasa-jasanya pada negara, Tuanku Tambusai diberi gelar Pahlawan Nasional
berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/Tahun 1995, tanggal 7
Agustus 1995.
Makam tuanku Tambusai di Seremban,
Negeri Sembilan, Malaysia
|
Sumber: Ensiklopedi Tokoh
Indonesia