Saturday, 19 November 2016

Sepenggal Kisah Harimau Paderi Dari Rokan, Tuanku Tambusai

Tuanku Tambusai
Tuanku Tambusai lahir di Dalu-dalu, Kabupaten Rokan Hulu, Riau pada 5 Oktober 1784 dari pasangan Ibrahim dan Munah. Ayahnya, seorang pejabat tinggi agama di kerajaan Tambusai. Sebagai seorang pemuka agama Islam, ia mengajarkan pendidikan agama kepada anak-anaknya dengan penuh kedisiplinan. Tuanku Tambusai yang awalnya dikenal dengan nama Muhammad Saleh ini juga diajari beladiri, termasuk ketangkasan menunggang kuda sejak usianya masih belia. Bukan hanya beladiri dan menunggang kuda, tata cara bernegara pun dipelajarinya dengan tekun.
Untuk lebih memdalami ilmu agamanya, Muhammad Saleh pergi menuntut ilmu ke Bonjol (sekarang Sumatera Barat) kemudian pindah lagi ke Rao. Di sana ia berguru pada beberapa ulama dan berkenalan dengan tokoh paderi, Tuanku Imam Bonjol.
Gelar Tuanku pun disandangnya karena tingkat keilmuannya yang tinggi dalam bidang agama. Dengan gelar itu ia ditugasi sebagai Panglima Paderi di Rao. Tuanku Tambusai, selain seorang panglima, ia juga merupakan salah seorang dari empat orang paderi yang berangkat ke Mekah di tahun 1820-an untuk mempelajari perkembangan pemikiran Islam di Tanah Suci.
Di berbagai tempat yang sekarang termasuk dalam administratif Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara ia mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Dalam Perang Paderi (1821-1830), Tuanku Tambusai membawa pasukan yang beroperasi di bagian utara Sumatera Barat. Kemudian mengawali penyerangan terhadap Inggris di Natal (Sumatera Utara) pada tahun 1823.
Pada akhir tahun 1826, tentara Belanda tidak bisa dengan tenang masuk ke wilayah Natal karena dihadang oleh Tuanku Tambusai. Meskipun Natal sudah diserahkan Inggris ke tangan Belanda sesuai dengan Traktat London 1824.
Pada tahun 1830, Tuanku Tambusai bergabung dengan pasukan Rao setelah mengamankan wilayah Natal-Airbangis. Dengan cepat ia memimpin kekuatan di Dalu-dalu (Riau), Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, Pangkalpinang dan Natal. Tuanku Tambusai dan Rao kemudian mendirikan benteng yang terdiri dari tujuh lapis bambu terletak di Dalu-dalu. Namun pada September 1832, benteng itu jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Tambusai memboyong pasukannya ke Tapanuli Selatan. Setelah Tuanku Rao gugur dalam pertempuran di Airbangis, praktis Tuanku Tambusailah yang memimpin pasukan Paderi di bagian utara Sumatera Barat.
Setelah Belanda mengangkat Tuanku Mudo (anak Tuanku Imam Bonjol) menjadi Regent Bogor, Tuanku Tumbasai sempat memimpin paderi pada tahun 1832. Dalam rentang waktu 15 tahun, tokoh paderi ini memporak-porandakan pasukan Belanda sehingga musuh berkali-kali harus meminta bantuan dari Padang dan Batavia. Pada tahun 1834, ia mulai mendirikan serangkaian benteng di Dalu-dalu, (Kabupaten Rokan Hulu saat ini).
Pada tahun 1835, pasukannya mengepung kedudukan Belanda di Rao dan Lubuk Sikaping sehingga pasukan Belanda antara satu tempat dan tempat lain terputus. Adakalanya ia menyerang pos-pos militer Belanda di Tapanuli Selatan sehingga kekuatan Belanda yang mengepung Bonjol menjadi terpecah. Namun, pada Agustus 1837, Bonjol jatuh ke tangan Belanda.
Ia juga terkenal dengan kecerdikannya, hal itu terbukti dengan dihancurkannya benteng Belanda Fort Amerongen. Meskipun tak berlangsung lama, Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali. Karena keberaniannya itu, ia dijuluki sebagai de padrische van Rokan yang berarti Harimau Paderi dari Rokan oleh Belanda.
Gerbang Menuju Benteng Tujuh Lapis
Pada awal tahun 1838, pasukan Belanda menyerang Dalu-dalu dari dua arah, yakni Pasir Pengaraian dan dari Tapanuli Selatan. Serangan itu gagal karena Tuanku Tambusai sudah mendirikan benteng berlapis-lapis. Serangan berikutnya dilancarkan Belanda pada Mei 1838. Beberapa benteng dapat mereka rebut, namun Belanda memerlukan waktu beberapa bulan lagi sebelum perlawanan Tuanku Tambusai dapat mereka akhiri. Pada 28 Desember 1838, benteng pertahanan terakhir yang saat ini dikenal dengan Benteng tujuh Lapis di Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Namun ia berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda dan para sekutu-sekutunya lewat pintu rahasia menuju Sungai dan menuju hilir Sungai Rokan.
Di usianya yang telah cukup renta, 98 tahun, ia kemudian mengungsi ke Seremban, Malaysia. Ia meninggal dunia pada 12 November 1882 di Negeri Sembilan, Malaysia. Atas jasa-jasanya pada negara, Tuanku Tambusai diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/Tahun 1995, tanggal 7 Agustus 1995.
Makam tuanku Tambusai di Seremban, 
Negeri Sembilan, Malaysia
Sumber: Ensiklopedi Tokoh Indonesia

No comments:

Post a Comment